Minggu, 01 Mei 2011

Istana Sekaligus Kuburan di Gua Harimau

Pusat Penelitian Arkeologi Nasional Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata yang dipimpin oleh Prof Dr Truman Simanjuntak menemukan 17 kerangka manusia kuno di Gua Harimau, Desa Padangbindu, Kecamatan Semidangaji, Kabupaten Ogan Komering Ulu, Sumatera Selatan.

Truman Simanjuntak di lokasi penggalian,mengatakan, Gua Harimau memperlihatkan indikator hunian prasejarah dan sekaligus hamparan kuburan.

Terbukti sejak penelitian tahun 2008 hingga saat ini sudah ditemukan

17 kerangka manusia kuno yang diperkirakan hidup 3.000 tahun lalu. Peneliti juga menemukan perkakas rumah tangga dari bahan logam.

Truman, dengan didampingi Kepala Dinas Pemuda, Olahraga, Kebudayaan, dan Pariwisata Aufa S Syarkomi, mengatakan, tim peneliti akan menggali lagi hingga 30 April mendatang di Gua Harimau.

Tim peneliti juga menemukan satu kuburan dengan tiga tengkorak digabung dalam satu liang. Menurut Truman, penemuan ini semakin unik dan menarik untuk diteliti.

"Mungkin yang meninggal ini anak raja atau pemimpin, biasanya pengawalnya ikut dibunuh dan dikubur dalam satu lubang supaya anak raja ini bisa ada teman di dunianya yang baru," terang Truman. Menurut dia, itu baru analisis sementara karena masih banyak kemungkinan-kemungkinan lain.

Sejumlah kerangka manusia kuno ini dikubur dengan berbagai posisi (tidak satu arah), ada pula tengkorak orok. Baru separuh gua yang digali, sudah ditemukan belasan tengkorak. "Sudah terlihat hamparan kuburan," kata Truman.

Ia berkesimpulan sementara, Gua Harimau merupakan tempat hunian dan sekaligus hamparan kuburan. Jika Prof Truman memperkirakan komunitas itu ada rajanya, maka dapat ditafsirkan pula bahwa tempat hunian di gua itu juga sebagai istana pada masanya.

Menurut Prof Truman, Gua Harimau dijadikan hunian sekaligus kuburan karena sangat luas. Pintu masuknya selebar kira-kira 40-50 meter. Langit-langit atap gua sangat tinggi, sekitar 20-35 meter. Sementara di tempat lain, kata Truman, biasanya kuburan berada di puncak-puncak gua supaya tidak mengganggu aktivitas penghuni gua.

Prof Truman, kepada Aufa S Syarkomi yang melihat langsung aktivitas peneliti, berjanji akan datang kembali ke lokasi. "Saya sangat tertarik dan ingin tahu lebih jauh seputar temuan penelitian di Gua Harimau ini," kata Aufa.

Prof Truman Simanjuntak memimpin tim yang beranggotakan Wahyu, Saptomo, Dr Bagyo Prasetyo, Dr Fadilla Arifin Aziz, Jatmiko, Retno Handini, Dwi Yani Yuniawati, Dariusman Abdillah, Vita, dan tiga teknisi, yaitu Romania Lumban Gaol, Ngadiman, dan Sigit Eko Prasetyo.

Pada November 2010 silam, Kepala Balai Pelestarian Situs Manusia Purba Sangiran Harry Widianto meyakini, kuburan massal di Gua Harimau adalah sisa-sisa rangka manusia prasejarah dari ras Mongoloid.

Keyakinan itu berangkat dari ciri-ciri morfologi rangka temuan, terutama dari bentuk tengkorak yang meninggi dan membundar (brachycephal) dan tulang tengkorak bagian belakang (occiptal) yang datar.

Selain itu, juga ada ciri morfologi gigi seri, bentuk orbit mata, kedalaman tulang hidung (nasal), serta dari postur tulang dan tubuh mereka yang khas Mongoloid. "Ciri-ciri morfologinya memang menunjukkan identitas mereka sebagai bagian dari ras Mongoloid," kata Harry saat itu.

Ia memperkirakan, peradaban di Gua Harimau berasal dari masa antara 3.500 dan 2.000 tahun lampau.
Read More

Dinosaurus "Iblis"

Dinosaurus baru yang diberi nama "Evil Spirit Buck-Toothed Reptile" alias reptil roh setan bergigi jelek atau dalam nama ilmiah Daemonosaurus chauliodus ditemukan di New Mexico. Si iblis ini merupakan dinosaurus penghubung antara dinosaurus tertua dan dinosaurus Jurassic spesies theropod.

Dinosaurus yang hidup 205 juta tahun yang lalu ini setinggi

anjing besar dengan tulang yang tidak biasa. Demikian jelas Hans-Dieter Sues, ahli purbakala vertebrata di National Museum of Natural History di Washington DC. "Moncongnya pendek dan gigi depannya besar-besar," katanya. Ia juga menambahkan, "Jenis struktur tulang yang tidak dikira pada waktu itu untuk dinosaurus predator."

Dinosaurus tertua yang diketahui hidup 230 juta tahun yang lalu, dalam Periode Triassic. Setelah itu, ada jeda besar dari hasil temuan fosil. Banyak ahli memperkirakan bahwa dinosaurus-dinosaurus awal punah. "Setelah itu predator yang lebih rumit mengambil alih kemudian terjadi diversifikasi pada peralihan periode Triassic ke Jurassic," kata Sues.

Daemonosaurus c ini merupakan jembatan yang menghubungkan kedua grup dinosaurus. Dari fosil yang ditemukan, dinosaurus ini memiliki beberapa ciri yang menghubungkan jeda evolusi antara dinosaurus awal ke dinosaurus yang lebih modern. Berdasarkan analisis terhadap fosil yang ditemukan, dinosaurus ini memiliki ciri Triassic dengan beberapa ciri dari Jurassic.

Ciri Triassic yang dimilikinya, misalnya, jeda kecil antara lubang hidung dan rongga mata. Tulang yang berkaitan dengan kantong udara yang seperti sistem paru-paru burung juga masih punya ciri primitif. Ciri dinosaurus yang lebih modern yang dimiliki Daemonosaurus c ada pada gigi.

"Ini adalah bukti bahwa dinosaurus punya distribusi yang lebih luas," jelas Sue.
Read More

Mencari Asal-usul Kehidupan

Dalam Frankenstein, buku klasik karya Mary Shelley yang terbit tahun 1818, Victor Frankenstein mengumpulkan potongan-potongan mayat dan menjahitnya menjadi tubuh yang utuh. Menggunakan aliran listrik, Frankenstein berhasil menciptakan kehidupan meski kemudian menyesalinya.

Dalam kehidupan nyata, manusia memang tak henti-hentinya mencari jawaban, apakah kehidupan ini ada karena

suatu kuasa atau semata-mata proses alam?

Ada berbagai teori dan percobaan menyangkut asal-usul kehidupan. Dalam buku The Grand Design (2010), fisikawan Stephen Hawking bersama Leonard Mlodinow menjelaskan tentang penciptaan ini. Menurut mereka, ”Tata surya dapat membentuk dirinya sendiri karena ada hukum alam, seperti gravitasi. Maka, penciptaan spontan adalah sumber adanya ’sesuatu’ dan bukan kehampaan, adanya alam semesta dan adanya kita.”

Sebelum itu, para ahli biokimia sudah merumuskan berbagai teori dan menguji coba di laboratorium. Salah satu yang fenomenal adalah uji laboratorium yang dilakukan Stanley Miller, kandidat doktor di University of Chicago, Amerika Serikat, tahun 1953.

Miller mereproduksi kondisi atmosfer purba dengan hidrogen, air, metana, dan amonia dalam bejana dan memanasinya. Dalam seminggu ia menemukan endapan senyawa organik penyusun kehidupan: asam amino.

Ragam asam amino itu—glisin, alanin, aspartik, dan glutamik—adalah unsur dasar pembentuk protein, penyusun struktur sel, dan berperan penting dalam reaksi biokimia yang dibutuhkan kehidupan.

Bukti baru

Pekan lalu, Lembaga Aeronautika dan Antariksa AS (NASA) memublikasikan hasil pengujian terhadap bahan penelitian Miller. Bahan ini, dengan alasan yang tidak pernah diketahui, tidak pernah dicoba sampai Miller meninggal tahun 2007.

Bahan ini mengandung hidrogen sulfida (H2S) yang belum pernah digunakan sebelumnya. ”Hidrogen sulfida berfungsi menstimulasi kondisi awal atmosfer kita,” kata Eric Parker dari Georgia Institute of Technology, Atlanta, dalam situs resmi NASA.

Parker adalah penulis utama laporan ilmiah tersebut dalam The Proceedings of the National Academy of Sciences.

”Sungguh mengagetkan, dengan menggunakan H2S, asam amino yang dihasilkan jauh lebih kaya dibandingkan penelitian-penelitian sebelumnya,” ujar Profesor Jeffrey Bada dari Scripps Institution of Oceanography, University of California. Ia berpartisipasi dalam penelitian ini.

Total diperoleh 22 jenis asam amino dan 10 jenis di antaranya belum pernah ditemukan dalam percobaan serupa. Salah satu dari asam amino tersebut, metionin, berperan besar dalam kode genetik. ”Metionin menginformasikan pada sel untuk menerjemahkan suatu desain menjadi protein,” kata Dr James Cleaves dari Carnegie Institution of Washington, anggota tim peneliti.

Kesimpulannya, penelitian menunjukkan peran gunung berapi pada pembentukan senyawa organik awal. Seperti diketahui, gunung berapi adalah sumber sulfur yang berlimpah. Kilat cahaya yang muncul saat gunung meletus, seperti aliran listrik yang membangkitkan kehidupan. Dengan demikian, kawasan gunung berapi bisa jadi menjadi lokasi awal mula kehidupan karena merupakan daerah yang kaya senyawa organik, baik jenis maupun jumlahnya.

Penelitian lebih lanjut pada meteorit— partikel antariksa yang tidak habis terbakar di atmosfer dan jatuh ke Bumi—menunjukkan bahwa selain kaya unsur karbon, meteorit juga mengandung beragam asam amino. Maka, bisa jadi molekul penting yang berperan dalam kehidupan berasal dari antariksa dan mempercepat munculnya kehidupan karena bahan bakunya sudah siap bersenyawa.

”Kami menemukan bahwa tipe asam amino yang dihasilkan dengan menambahkan H2S ternyata hampir sama dengan asam amino pada meteorit yang kaya karbon,” tutur D Jason Dworkin dari NASA Goddard yang memimpin Laboratorium Astrochemistry NASA.

Awal mula

Meski demikian, kerja Miller tak lepas dari teori-teori yang dihasilkan para ahli biokimia sebelumnya. Menurut John Haldane dari Inggris tahun 1929, atmosfer pada zaman Bumi purba tidak memiliki oksigen bebas.

Kemudian Haldane dan Aleksander Oparin dari Soviet menyatakan, ”Semua bahan baku kehidupan sudah ada di Bumi sejak awal mula, demikian juga dengan energi dari Matahari dan proses yang belum diketahui, tapi memicu munculnya kehidupan.”

Di Amerika, tahun 1952, ahli biokimia Harold C Urey mengelaborasi teori Haldane dan Oparin dengan menyebutkan unsur-unsur yang ada sejak terbentuknya semesta, yaitu hidrogen, oksigen, nitrogen, dan karbon. Inilah yang kemudian membentuk air, amonia, dan metana sebagai unsur dasar pembentuk kehidupan.

Adalah Stanley Miller yang kemudian mengombinasikan ide Haldane, Oparin, dan Urey dalam percobaannya. Selain menemukan senyawa organik penyusun kehidupan, percobaan Miller juga membuktikan betapa mudah asam amino terbentuk.

Pada tahun yang sama, 1953, penemuan struktur DNA—deoxyribonucleic acid yang membawa kode genetik—semakin membuktikan besarnya peran senyawa organik dasar menyusun kehidupan. Penemuan DNA juga membuka pemahaman terhadap beberapa senyawa, di antaranya asam nukleid, yang bisa bereplikasi dan mewariskan kehidupan.

Semua penelitian di atas mengarah pada pembentukan asam amino sebagai langkah awal evolusi. Akan tetapi, betulkah semua ini proses alam semata seperti yang dipercaya Hawking dan Mlodinow, ataukah ada kehendak Yang Kuasa?
Read More

Paus Bungkuk Navigator Hebat

Menurut hasil proyek pengamatan selama 8 tahun, paus bungkuk menggunakan posisi Matahari, medan magnet Bumi, dan bintang sebagai pemandu perjalanan. Paus bungkuk bisa menempuh perjalanan sejauh 16.000 kilometer dan bisa menempuh jalur lurus selama beberapa minggu.

"Padahal mereka harus melalui pusaran air, tapi mereka tetapi bisa berenang lurus," kata ilmuwan lingkungan dari University of Canterbury, Selandia Baru, Travis Horton. "Mereka menggunakan hal lain di luar tubuh mereka," kata Horton.
Paus bungkuk mencari makan selama

musim panas di lautan daerah kutub. Saat musim dingin, mereka bermigrasi ke lautan tropis. Saat itu pula mereka kawin dan bereproduksi. Sekali jalan, mereka bisa menempuh jarak 8.000 kilometer, membuat mereka menjadi hewan dengan jarak migrasi terjauh di Bumi.

Untuk penelitian, Travor dan timnya memasangkan alat bertenaga baterai yang memberikan informasi lokasi. Berdasarkan pengamatan, tak peduli arus air, badai, dan penghalang lain, jalur paus bungkuk tidak pernah menyimpang lebih dari 5 derajat salah bermigrasi. Sekitar separuh paus yang diamati, hanya menyimpan 1 derajat bahkan lebih kecil.

"Mengagumkan betapa jalur mereka sangat lurus," kata ahli biologi bahari Alex Zerbini dari National Oceanic and Atmospheric Administration. "Kami penasaran untuk mengetahui cara mereka melakukan hal itu," tambahnya.

Sudah puluhan tahun, ada penelitian mengenai migrasi satwa yang menggunakan magnet Bumi dan pelacakan Matahari. Tapi keduanya biasa dipakai oleh unggas. Paus bungkuk sepertinya tidak hanya mengandalkan kedua metode tersebut. Horton memperkirakan kalau paus bungkuk juga menggunakan posisi bulan atau bintang.
Read More

Hidung Buatan Bisa Deteksi Aroma Kanker

Seorang profesor dari Technion Israel Institute of Technology merekayasa hidung buatan yang dapat mendeteksi molekul pada napas manusia untuk mengenali gejala kanker di kepala dan leher. Hidung ini bakal jadi alat pengenal kanker yang sulit terdeteksi sejak dini.

Jangan bayangkan bentuknya persis hidung asli. Nanoscale Artificial NOSE (NA-NOSE) memiliki 5 sensor emas berukuran sangat kecil yang

dihubungkan ke peranti lunak. Tugas peranti lunak tersebut adalah mendeteksi pola molekul yang ada dalam udara yang dikeluarkan napas seseorang. Peranti lunak lalu menentukan ada atau tidaknya kanker di kepala, leher, atau paru-paru.

Sedikit saja partikel mikroskopik yang dibutuhkan untuk memicu sensor. Dengan demikian, alat ini sangat berguna untuk pendeteksian kanker pada tahap awal perkembangan--pada saat masih mudah ditangani.

NA-NOSE sudah diuji pada 87 relawan--sebagian besar memiliki kanker di kepala dan leher, beberapa orang lainnya memiliki kanker paru-paru, sementara lainnya lagi tidak memiliki kanker. Hidung ini dapat mengenali perbedaan antara kanker kepala dan leher dengan kanker paru-paru.

Meskipun hasil uji awal ini memuasikan, pengujian lebih lanjut perlu dilakukan sebelum alat ini digunakan oleh dokter.


Read More

Bunga Bangkai Mekar Kembali

Bunga bangkai di Kebun Raya Cibodas akan kembali berbunga untuk ketiga kalinya dalam bulan Mei 2011. Sebelumnya, bunga ini berbunga pertama kali pada tahun 2003 dan kembali berbunga pada 10 Mei 2007.

Amorphopallus titanum biasanya tumbuh di tempat terbuka yang relatif miring dan mendapat banyak cahaya matahari. Bunga ini juga biasa tumbuh di tanah yang

gembur dan banyak mengandung humus serta memiliki aerasi yang baik. Pengelola Kebun Raya Cibodas pun menempatkan bunga langka ini di belakang guest house, lokasi yang paling mirip dengan habitat aslinya.

Bunga bangkai raksasa yang ada di Kebun Raya Cibodas dibawa dari Sumatera. Pada tahun 2000, tim eksplorasi Kebun Raya Cibodas mengambilnya dari Taman Nasional Kerinci Seblat, Jambi, pada ketinggian 680 meter di atas permukaan laut dan menanamnya kembali pada 26 Juni 2000.

"Dulu bunga ini ditanam di belakang rumah kaca, tetapi karena tanahnya merah maka dipindah ke lokasi yang sekarang. Tanahnya lebih banyak mengandung humus," kata Makmur, salah seorang pegawai Kebun Raya Cibodas yang ikut menanam Amorphopallus titanum.

Bunga yang memiliki tiga fase pertumbuhan ini--vegetatif (berdaun), generatif (berbunga), dorman (istirahat)--berbunga setiap empat tahun sekali. Oleh sebab itu masa berbunganya menjadi momen istimewa yang selalu ditunggu-tunggu.
Read More